Skip to main content

Pelanggan Budiman


Sumber: Dokumen Pribadi
Kolom komentar penuh dengan pertanyaan. Siapa lagi kalau bukan pelanggan. Seorang pebisnis bermata manis baru saja memindahkan isi tokonya ke sebuah layar yang kini digenggam semua calon pelanggan, pelanggan setia, dan mantan pelanggannya.
            Pengikut setia sekaligus pelanggan terus menulis, Yang nomer tiga ready Sis? Harganya berapa ya? Ukurannya apa saja ya Min? Bisa kirim luar pulau Gan? Mau ini @teman_setia @shb.lama @okb.asli.
            Pemilik akun bersiap membalas: Ready kak. Silahkan dipesan kak. Ukuran dan harga bisa cek link di bio ya kak. Semua jawaban dibarengi emotikon senyum dengan pipi merona dan kedua tangan yang mengatup. Tunjukkan sedikit keramahan pada pelanggan, begitu kata mentor-mentor bisnis daring di saluran video terkemuka.
            Di hari kemudian, transaksi uang berjalan. Terus bertambah nominalnya. Setiap pelanggan mungkin hanya bertransaksi dengan lima sampai enam nominal. Tapi pebisnis itu menerima hampir tujuh sampai delapan nominal. Toko itu ramai karena saking banyaknya variasi barang yang dijual. Luar biasa, sungguh pencapaian yang sangat pesat bagi sebuah bisnis yang baru empat bulan berjalan daring.
            Lantas minggu selanjutnya pengepakan barang dimulai. Banyaknya pesanan tentu berpengaruh pada lamanya pengepakan. Ada hampir dua ratus barang yang harus dikirim dan pebisnis itu hanya punya lima karyawan. Itu cukup melelahkan baginya dan karyawannya.
            Sementara itu di ruang percakapan ponsel miliknya, pesan terus berdatangan. Menderu-deru terus berbunyi dan bergetar. Membisingi telinganya. Semua pesannya tak jauh beda isinya, Sis, barangnya kok belum sampai ya?
            Rasa kesal di hati boleh saja terpantik, tapi tangannya tak boleh sembarangan mengetik. Jawaban yang ia berikan harus manis dan tidak melukai perasaan pelanggannya. Ia menulis, mohon ditunggu ya kak, barangnya sedang dikemas. Lusa akan kami kirim serentak. Terimakasih.
            Pesan yang ia kirim sebagai balasan rupanya mengundang protes pelanggan.sebab tergesa-gesa membalas, ia tidak melihat kalau emotikon yang dipakainya berwajah murung. Ia sibuk lagi membalas protes dengan permohonan maaf.
            Drama teks berakhir setelah para pelanggan buas itu menerima pesanannya masing-masing. Pesan-pesan berdatangan lagi. Terima kasih Sis, barangnya sudah sampai. Udah sampai sis barangnya, suka deh. Bakalan beli disini lagi, makasih banyak min barangnya bagus.
            Sayangnya itu hanya beberapa. Lebih dari setengah pelanggan menandai akun berbagi foto miliknya dengan macam-macam keluhan. Saya menyesal membeli barang disini, tidak profesional. Barangnya kualitas buruk, kalau ada bintang aku bakal kasih bintang satu. Penjualnya nggak ramah, mending jangan beli disini.
Pebisnis pemula itu lantas membuang ponselnya. Kembali mengajak dua karyawannya membuka kembali toko pakaian lama yang ada di pasar tradisional.
“Kenapa ke toko lama lagi, Mbak?”
“Aku lebih suka pelanggan kita disana. Mereka tidak tinggal di kolom komentar dan yang paling penting jarinya tidak digunakan mengetik hujatan.”
*Pernah diterbitkan di Buletin Coret LPM Solidaritas edisi November 2018 dengan judul "Komentator"

Comments