Skip to main content

Tur dari Tuhan



Dunia serupa apa yang kalian inginkan? Teman macam bagaimana yang kalian cari? Harta sebanyak apa yang kalian butuhkan? Rupa secantik dan setampan apa yang kalian dambakan?

Tenang, aku punya semuanya. Aku punya semua yang kalian inginkan, yang kalian dambakan, dan yang kalian harapkan, jadi marilah kawan kuajak kau bermain ke duniaku.

****

Pagi yang bising. Deru burung besi diatas sana mengganggu nyenyak tidurku. Ditambah desis ular tua reot yang tersedak-sedak melewati jalur besinya. Aku tak sendiri, ada lima belas orang temanku yang tidur disampingku dan sama-sama terusik tidurnya. Suara-suara itu serupa jam beker kami, berdering sejak pukul lima sebenarnya, cukup untuk membangunkan kami sholat subuh tapi tak  kami lakukan. Kami malas sholat subuh karena tak bikin perut kenyang. Kami lebih suka menyemir sepatu atau berjualan koran atau mengamen atau menjadi buruh angkut di pasar sekedar membawakan empat atau lima kantung kresek besar berisi belanjaan ibu-ibu gendut, itulah yang pasti akan menuntaskan urusan perut kami lebih cepat daripada sholat subuh. Kami cuma tahu kalau Tuhan membagikan rezekinya untuk orang-orang yang giat, itu saja cukup.

Sesaat kemudian bumi berputar sedikit ke barat, jalanan semakin padat dengan antrian mengular panjang kendaraan orang-orang rakus, semakin bising dengan bunyi klakson dari tunggangan orang-orang tak sabar hati, dan semakin pekat oleh kentut polusi peliharaan orang-orang pelit. Aku sendiri sedang memetik gitar di samping kaca mobil hitam plat merah yang dari dalamnya mengulur tangan ber-jas memberiku uang dua ratus perak, Jo tampak lebih malang karena hanya menerima lambaian manis tanda tak ingin memberi dari mobil perak di belakang, payah kataku. Duniaku panas menyengat kawan, harta yang kumiliki hanya apa yang ada di dalam saku celanaku, tapi tak pernah mengajak mulut kecil kami mengeluh dan tak pula mengurangi semangat kami barang secuilpun.

Matahari sedikit demi sedikit mulai menaiki kepala kami, sudah hampir tengah hari dan aku hanya mengantongi dua lembar dua ribuan lusuh, tiga keping dua ratusan dan sekeping seratusan. Jo juga tak banyak bisa diharapkan, hanya sekeping lima ratusan, tiga lembar seribuan dan selembar dua ribuan. Hanya ada dua kemungkinan yang kurasa jadi penyebab berkurangnya pendapatan kami, hari ini orang-orang sedang tidak membawa uang receh karena baru saja mengantri di bank-bank atau sebab liburan mereka ke negeri bersalju sehingga hati mereka ikut membeku, kalian boleh menebak yang mana saja, kedua hipotesis itu asli buatan otakku yang masih segar dan itu memang kubuat gratis untuk ditebak karena aku dermawan dan bukannya pelit seperti orang-orang pintar di gedung-gedung tinggi sana yang selalu minta bayaran untuk sewa otaknya.

Sembari menunggu Jo yang sambat ingin buang air dari tadi, aku mendatangi warung nasi di seberang jalan, memesan dua bungkus nasi tahu tempe goreng garing dengan hutang, pemilik warung ini baik meskipun tak sebaik Bi Eem yang jadi langganan Bang Dilan. Bi Iim namanya, dia sendiri pernah bilang kalau Bi Eem adalah sepupu neneknya entah dari garis keturunan mana.

 Jo sudah kembali dari urusan belakangnya saat mataku menangkap sosok rupawan di seberang sana. Posturnya yang tinggi dan tampak cocok mengenakan kaus oblong  republik merah hitam seketika menyedot perhatian dan konsentrasiku yang ternyata sudah buyar hingga tak sadar teriakan Jo dari seberang jalan. Sekilas dia tampak seperti pelajar sekolah menengah yang habis kesabaran menanti jemputan pulang, sekian detik ia melihat arloji hitam di tangannya, ia melihat arloji lagi lalu menengok kanan kiri, melihatnya lagi lalu menengok lagi ke kanan kiri, dalam jarak yang terpisah dua lajur jalan raya nan sesak dan terus dirayapi tunggangan-tunggangan kaum borjuis dan proletar aku membayangkan betapa beruntungnya arloji itu, tak lepas dari lirikan mata tajamnya dan tak bergeser dari pergelangan tangannya. Tiba-tiba dan tanpa terduga, dia sudah berdiri di sampingku. Memandangku penuh ragu dan menanyakan daerah manakah tempatnya menunggu ini. Aku tak tahu kapan ia berjalan ke arahku karena sekarang ini tak penting untuk membahasnya, terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaannya barusan kuharap seseorang membawakanku sebuah radio rombeng yang sangat berisik untuk kuputar dengan volume sekencang-kencangnya karena sekarang aku gugup sekali dan degup jantung ini tak mau mengecilkan volume detakannya, Sukamurka kataku sembari mengarahkan tanganku yang juga bergetar ke arah spanduk kecil yang terbentang di sisi lain jalan.

“Oh, saya tidak lihat. Terimakasih kalo gitu mas,”

Yang barusan itu ucapan keduanya yang kurasa janggal sekali, bagaimana bisa dia memanggilku ‘mas’ ? Apa dia sungguhan tidak melihat tanda-tanda ke-perempuanan-ku ? meski aneh dan membuat telingaku geli, kalimat itu seketika menyihir cacing-cacing ganas yang selama ini hanya minta makan menjadi kupu-kupu yang siap meledakkan perutku.

“TATIA !! WOI BOCAH ! TATIAAA !! WOI !!”

Ah, Jo sialan. Dasar anak tak punya mimpi, aku jadi terbuyar dari lamunan. Kawan karib kumuhku itu pasti sudah terlalu lapar sehingga lebih memilih menghancurkan lamunan orang daripada harus menahan demonstrasi dalam perutnya. Aku hengkang meninggalkan tempatku berdiri menuju seberang jalan dan mengemasi lamunan indahku takut ada yang tertinggal karena hanya itu yang tersisa untukku kini setelah pemuda itu lenyap tak tahu rimbanya. Sudah waktunya makan, aku pasti banyak berkhayal karena perut yang kosong dan akhirnya mengakibatkan otakku juga kosong, pikirku. Sepanjang perjalanan mencari pohon rindang untuk makan aku terus memandangi wajahku yang memang lebih mirip laki-laki. Rahang yang tegas, alis mata yang tebal, dan otot tangan yang besar karena sering mengangkat beban menjadi ciri yang membuat orang banyak mengira kalau aku ini anak laki-laki, belum lagi tambahan potongan rambut pendekku yang semakin menguatkan dugaan orang soal genderku. Penglihatanku juga tak sempurna, aku buta sebelah sehingga mata kiriku harus terpejam. Satu yang kuyakini bahwa wajah yang dianugrahkan padaku ini adalah karya terbaik Tuhan untukku, spesial dan khusus hanya untuk diriku.

Kami makan berlima saja, sepuluh teman kami pasti sudah makan sejak tadi sebab kulihat gumpalan kertas minyak telah menggunung di samping kami. Hari semakin terik, panggilan sholat terdengar saling bersahutan tanpa ada yang menjawab. Aku juga tak berniat untuk sholat karena sudah kukatakan bahwa ritual itu tidak akan membuatku kenyang. Kami makan dengan penuh obrolan, kami tidak mengambil gambar makanan kami dan mengunggahnya ke instagram seperti yang dilakukan orang-orang di restoran, kami saling berbagi lauk yang hanya sepotong agar semua bisa mencicipi rasanya dan bukan mengiming-imingi gambarnya, kami makan dan tertawa-tawa sungguhan, bukan sekedar kalimat hahaha seperti yang dikirimkan mereka dalam pesan singkatnya. Aku berani bertaruh kalau setelah darmawisata keliling duniaku ini kalian semua pasti akan iri setengah mati, aku punya teman yang bisa diajak bicara dan berkelakar, bukan seperti kalian yang hanya ber-haha hihi di dalam teks.

“Waktunya kembali ke jalan, nanti malam kita masih perlu makan, ingat tetap berpencar dan jangan saling serobot rezeki. Kita bukan manusia-manusia serakah,” ajak si Tambun.

Kami terus mengamen dan mengasong dan menyemir sepatu hingga larut malam saat tiba waktunya untuk kembali terlelap. Tur tentang dunia dambaan manusia ini kuanggap selesai dan kututup dengan pertanyaan terakhirku pada kalian, Bagaimana kawan? Kenapa kalian tak kunjung mengucap syukur pada Tuhan kalian?

Comments