Kamis
siang terik, 14.10 WIB.
img. by google |
Gale
sedang melaksanakan ritual rutinnya. Lagi-lagi
kelupaan, Gale lagi-lagi ditimpa lupa. Penyakit yang katanya tak ada
obatnya. Sudah keberapa kalinya entah, tawaran Gopar yang menjadikannya berbuat
seperti itu. Gale memang tak biasanya tak mendengarkan Gopar, maka sebab itulah
Gale lupa bahwa ia sedang melakukan rutinitas yang seribu kali lebih menjamin
kehidupan akhiratnya dibanding apa yang ditawarkan Gopar padanya siang itu,
sebungkus permen mint.
“Nih
permen mint, biar mulutmu tak bau macam telur busuk,”
Tidak
salah pemirsa sekalian, tentu tak ada salahnya ditawari sebungkus permen. Setahu
saya juga tidak ada satupun perundang-undangan negeri ini yang melarang seseorang
mengemut permen di siang terik. Gale saat itu kebetulan memang merasa kalau
mulutnya bau. Maka diterimalah sebungkus permen itu dan langsung diulumnya. Tapi
mari kita lihat apa yang sebenarnya terjadi dengan kawan kita Gale siang itu
sebelum kejadian mengemut permen itu menjadi ternistakan.
Malam
Kamis sebelumnya, 23.11 WIB.
“Jangan lupa, Le. Besok bangun
sahur,”
Ah,
suara lembut Emak. Selalu saja berdering macam jam beker tetangga. Tentu saja
karena kami tak punya jam beker di rumah besar ini makanya suara jam beker
hanya mampu kami dengar dari rumah tetangga. Bukan, sungguh bukan karena
terlalu miskin dan tak mampu membelinya, jam di rumah kami bukan lagi jam beker
sepuluh-ribu-tiga seperti punya tetangga, jam beker kami malah sudah
menggunakan teknologi terbaru keluaran abad ini. Hanya saja kami memang tak
pernah menggunakannya sebab suara Emak jauh lebih mampu membangunkan seisi
rumah yang memang di dalamnya hanya ada aku dan emak seorang. Bapak? Usah
bertanya dimana dan kemana laki-laki yang belum pernah sekalipun kulihat
wajahnya itu kecuali kalau kalian semua memang suka melihat pertunjukkan piring
terbang yang dipersembahkan Emak sendiri. Aku sendiri juga tak tahu dimana dia,
aku juga tak mau repot-repot untuk mencari tahu, karena aku memang tak mau
tahu.
Malam
pekat begini biasanya gadis tetangga
pergi berboncengan dengan lelaki gang sebelah. Sang gadis bersolek, pipi yang
merona-rona dan suara yang kian manja membuat lelaki gang sebelah tak pernah
absen menjemputnya tiap malam Kamis. Jangan sangka mereka ini mau menyalakan
lilin dan berubah wujud babi hutan bersama, mereka hanya sedang mau keluar
saja, begitu alasannya kalau masing-masing ayah ibunya bertanya.
“Gale,
kamu jangan sampai memperlakukan wanita seperti itu. Bahaya, macam barang
rental saja, tiap seminggu sekali dibawa,” seloroh Emak berpesan. Gale hanya
mengangguk-angguk lalu kembali mengalihkan pandangan ke rumah gadis tetangga
lalu menghela nafas.
“Lantas
harus seperti apa aku memperlakukan makhluk itu, Mak?” Gale berkata seraya
berjalan menuju Emaknya, “apakah seperti Bapak yang meninggalkan emak saat aku
lahir? Atau seperti Pakde yang meninggalkan Bude saat sudah tak cinta lagi?
Harus bagaimana Mak saat aku hidup dengan perempuan yang nanti aku bisa saja
bosan dengannya?”
Emak
terbungkam. Tak biasanya Gale bertanya padanya seserius itu. Emak sendiri sebenarnya
juga tak tahu bagaimana harusnya dulu ia diperlakukan. Ia hanya tahu yang
selama ini ia lakukan tak lebih dari sekedar menunggu suaminya yang tak tahu
dimana rimbanya, menyesali mengapa sosoknya 22 tahun lalu harus bertemu dengan
orang yang menyenangkan seperti bapak anaknya kini, dan bertanya-tanya kapan
kiranya takdir akan berubah sehingga dirinya sedikit bisa berbahagia sebagai
wanita. Saat anak lelakinya tumbuh dewasa dan akhirnya bertanya perihal wanita,
ia malah terdiam seribu bahasa. Emak sendiri bertanya entah pada siapa, memangnya
harus bagaimana memperlakukan wanita dengan benar?
Saat
Emak tersadar dari lamunan pertanyaan, Gale sudah lebih dulu beranjak dari
tempatnya, pamit ke kamar tidur. Di tempatnya berbaring, Gale masih memikirkan
perkataan Emak soal memperlakukan wanita dan mencoba menebak-nebak apa alasan bapaknya
pergi saat ia datang ke dunia. Mana yang
salah? Emak atau bapak? Menebak pertanyaan itu sama halnya dengan mencari
jarum di tumpukan jerami, ada tapi sulit dicari.
Kamis
dini hari, 02.26 WIB.
Meja
makan sedikit ramai oleh suara dentingan sendok yang saling bersahutan antara
Gale dan emaknya. Setelah buru-buru menghabiskan makan sahurnya, Gale segera
bergegas menuju kamarnya bermaksud tidur lagi sebelum adzan shubuh
berkumandang, lagipula karena besok ia berpuasa tenaganya tak boleh banyak
terbuang. Emak juga dengan cekatan segera membereskan meja makan. Esok pagi ia
harus berangkat kerja, harus pandai-pandai menghemat energi kalau tak ingin
puasa rutinnya batal di siang bolong.
“Le, emak sudah tahu jawabannya
kenapa bapakmu meninggalkan emak, emak juga sudah tahu harus bagaimana kamu memperlakukan
wanita,” ujar emak sesaat setelah melipat mukenanya. Gale menatap mata emaknya,
kali ini sungguhan sebab biasanya ia tak pernah menatap emaknya seserius ini.
“Wanita harus dijaga dengan tanggung
jawab. Bapakmu lari dari emak sebab tak mau bertanggung jawab atas emak yang
hamil lebih dulu sebelum menikah. Apakah emak sedih? Tentu emak sedih, tapi
emak lebih sedih dan menyesali kenapa emak tidak bisa mencegah perbuatan itu
terjadi 22 tahun lalu. Emak sendiri juga tidak bertanggung jawab atas harga diri
emak sebagai wanita,” jelas emak sambil menepuk-nepuk pundakku. “sekarang emak
harap kamu sudah bisa mengerti bagaimana memperlakukan wanita,” Jelaslah sudah
jarum di dalam jerami itu kini, Gale sudah bisa menarik kesimpulannya.
Kembali
ke Kamis siang terik, 14.15 WIB.
Sudah lima menit Gopar tak kunjung
kembali sejak berpamitan hendak ke belakang. Gale menunggu lama sembari
membatin soal permen yang sudah lima menit dimulutnya dan tak kunjung habis.
Hingga datanglah seorang pengasong pria paruh baya yang langsung duduk
disampingnya.
“Minumnya, Mas. Lima ribuan aja,”
tawarnya sembari menyodorkan sebotol minuman jeruk dingin ke depan Gale.
“siang-siang begini paling seger minum dingin, Mas. Lima ribuan aja,” ujarnya
lagi. Gale yang iba bersegera merogoh kantong celananya. Gambar Idham Chalid
kecoklatan itu akhirnya berpindah tangan. Gale menenggak sebotol minuman jeruk
yang barusan dibelinya. Tak ingat akan puasanya.
“Tinggal di daerah mana Mas?”
“Selatan kantor dewan kota Pak,
rumah samping toko buku,”
“Oh, apa itu artinya mas adalah
anaknya Bu Suratmi itu?”
“Bapak kenal dengan ibu saya?”
“Tentu. Saya sangat mengenalnya. Kalau
begitu mas ini pasti yang bernama Gale”
“Ya, itu saya,”
“Hari ini hari Kamis. Apa mas tidak
berpuasa? Setahu saya keluarga ibu Suratmi selalu berpuasa di hari Kamis,”
Gale terkejut, menepuk jidat. Benar, aku memang berpuasa, batinnya
bicara. Tapi Gale barusan menghabiskan sebungkus permen dan sebotol air jeruk
sialan itu. Ya Tuhan, bagaimana bisa ia lupa bahwa ia sedang berpuasa?
“Saya
benar-benar lupa. Saya tadi makan permen dan minum minuman botol ini,”
“Tak apa mas jika sungguhan lupa
puasanya tetap boleh dilanjutkan. Saya pernah dengar dari ceramah bahwa itu
tandanya kita sedang diberi rezeki oleh Tuhan, ” pedagang asongan itu kemudian
menarik tangan Gale dan mengembalikan uang lima ribuan tadi. “Uang ini saya
kembalikan saja. Saya tadi juga ikut menawari mas untuk minum. Saya minta maaf,
Mas. Saya merasa bersalah juga karena tidak membantu menjaga puasa Mas,”
“Sampaikan salam saya juga kepada Bu
Suratmi bahwa saya sangat menyesal karena tidak bisa bertanggung jawab. Katakan
bahwa suaminya tak akan kembali, jadi jangan menunggu dan berharap atasnya,”
ujarnya sebelum tiba-tiba menghilang secara cepat saat Gale baru mengalihkan
pandangannya ke Idham Chalid di tangannya. Gale merasa kebingungan, Gopar
akhirnya datang dan mengajaknya pulang, sudah sore rupanya.
Kamis
sore, 17.05 WIB.
Sudah menjelang buka. Gale
membuka-buka koran pagi tadi yang belum sempat dibacanya. Bukan karena dia
rajin membaca koran, tapi lebih karena ia penasaran melihat ibunya terisak-isak
setelah membaca koran tersebut.
Diduga Depresi, Seorang Pria Nekat Gantung
Diri
Disitulah
ia melihat foto pedagang asongan yang tadi dijumpainya. Tahi lalatnya sekilas tampak seperti milikku, gumamnya lirih.
***
kritik dan saran sangat diharapkan,, terimakasih sudah berkunjung !! :)
ReplyDelete